Rebonding
adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah.
Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka
ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti
disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim
tahap kedua untuk mempertahankan pelurusan rambut.
Proses
rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam
rambut. Protein pembentuk rambut manusia disebut keratin, yang terdiri dari
unsur sistin (cystine) yaitu senyawa asam amino yang memiliki unsur sulfida.
Jembatan disulfida -S-S- dari sistin inilah yang paling bertanggung jawab atas
berbagai bentuk dari rambut kita. Rambut berbentuk lurus atau keriting
dikarenakan keratin mengandung jembatan disulfida yang membuat molekul
mempertahankan bentuk-bentuk tertentu. Pada proses rebonding, pemberian krim
tertentu bertujuan untuk membuka/memutus jembatan disulfida itu, sehingga
bentuk rambut yang keriting menjadi lemas/lurus.
Proses
rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi.
Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk
rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya
menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang
mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath)
rebonding.
Menurut
kami, rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan
Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil
keharamannya adalah keumuman firman Allah (artinya), “Dan aku (syaithan) akan
menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”.
(QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah,
karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali kepada perbuatan dosa.
Mengubah
ciptaan Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat
sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai`
‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti
menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). (Hani bin Abdullah al-Jubair,
Al-Dhawabit al-Syar’iyah li al-‘Amaliyat al-Tajmiliyyah, hlm.9).
Dari
definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan Allah
(taghyir khalqillah), karena rebonding telah mengubah struktur protein dalam
rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli menjadi
sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian, rebonding hukumnya haram.
Selain
dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis
Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang mencabut
bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang
merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.”
(HR Bukhari).
Hadis
ini telah mengharamkan beberapa perbuatan yang disebut di dalam nash, yaitu
mentato, minta ditato, mencabut atau minta dicabutkan bulu alis, dan
merenggangkan gigi. Keharaman perbuatan-perbuatan itu sesungguhnya didasarkan
pada suatu illat (alasan penetapan hukum), yaitu mencari kecantikan dengan
mengubah ciptaan Allah (thalabul husni bi taghyir khalqillah) (Walid bin Rasyid
Sa’idan, Al-Ifadah al-Syar’iyyah fi Ba’dh al-Masa`il al-Thibbiyyah, hlm. 62).
Dengan demikian, rebonding hukumnya juga haram, karena dapat diqiyaskan dengan
perbuatan-perbuatan haram tersebut, karena ada kesamaan illat, yaitu mencari
kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.
Sebagian
ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka
mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala
perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan
mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata,”Dalam hadis ini terdapat
dalil bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah
menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi,
untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam
Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfatul
Ahwadzi, 7/91).
Adapun
meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah
struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan
fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh.
Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias)
yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh ditampakkan
kepada yang bukan mahram. Wallahu a’lam.
Seorang
istri diperbolehkan untuk berhias dengan syarat selama perhiasan itu hanya
untuk ditampakkan di hadapan suaminya dan tidak melanggar syariat. Dalam hal
pelurusan rambut (rebonding) ini saya mengawatirkan di dalamnya terdapat unsur
merubah ciptaan Allah ta’ala. Merubah ciptaan Allah dengan tujuan menambah
kecantikan dan merasa tidak puas dengan apa yang sudah dianugerahkan adalah
terlarang karena ini adalah seruan syaitan.
Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“Maka
aku (syaitan) benar-benar akan memerintahkan mereka untuk merubah ciptaan
Allah.” [QS An Nisa`: 119]
Dalil
lainnya adalah hadits Asma` radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه
وسلم bersabda:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang
yang memuaskan diri dengan sesuatu yang tidak diberikan sama seperti orang yang
mengenakan dua pakaian palsu.” [HR Al Bukhari (5219) dan Muslim (2129)]
Ada
yang mengatakan bahwa rambut yang direbonding itu selama beberapa hari tidak
diperbolehkan untuk dicuci karena dapat mengurangi hasil dari proses meluruskan
rambut. Dengan kata lain, selama beberapa hari itu tidak dapat berwudhu dengan
sempurna, akibatnya akan mengganggu shalat lima waktu. Sebagai tambahan, ada
pula yang mengatakan bahwa rebonding rambut ini bisa menyebabkan kerusakan dan
kerontokan rambut.
Walhasil,
rebonding rambut ini banyak mafsadahnya, mafsadah agama dan dunia. Mafsadah
agama karena ia dikhawatirkan masuk ke dalam perkara merubah ciptaan Allah dan
bisa menghalangi seseorang dari berwudhuk secara sempurna. Sedangkan mafsadah
dunianya adalah menyebabkan kerusakan rambut dan kerontokan.
Kesimpulan
kita, sebaiknya rebonding ditinggalkan agar selamat dunia dan akhirat. Wallahu
a’lam.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, hukum meluruskan rambut atau rebonding sangat
terkait dengan konteksnya, namun hukum asalnya mubah dalam arti dibolehkan.
"Jika
tujuan dan dampaknya negatif maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan
dampaknya positif maka dibolehkan, bahkan dianjurkan," kata Wakil
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, rebonding sebagai sebuah cara untuk berhias
diri, hukum asalnya dibolehkan sepanjang tidak menyebabkan bahaya, baik secara
fisik, psikis, maupun sosial.
Dalam
perspektif hukum Islam, menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tersebut, menjaga kebersihan dan keindahan sangat
dianjurkan.
"Jika
rebonding ditempatkan dalam konteks merawat tubuh dan menjaga keindahan, maka
justru dianjurkan. Syarat lainnya, obat yang digunakan harus halal,"
katanya.
Lebih
lanjut Niam menyatakan, kontroversi hukum haram rebonding yang dihasilkan Forum
Musyawarah Pondok Pesantren Putri se-Jawa Timur di Lirboyo, Kediri, beberapa hari
lalu harus dipahami lengkap dengan konteksnya agar tidak menyesatkan
masyarakat.
Menurutnya,
penetapan haramnya rebonding bagi perempuan yang belum beristri dimungkinkan
jika rebonding sebagai sarana terjadinya kemaksiatan.
"Jika
tujuannya baik, misalnya agar rambut mudah dirawat dan dibersihkan, atau lebih
mudah dalam pemakaian jilbab, rebonding justru dianjurkan. Bahkan bisa jadi
wajib," kata direkturAl-Nahdlah Islamic Boarding
School Depok itu.
Dikatakannya,
pemahaman hukum rebonding secara utuh sangat perlu untuk memberikan kepastian
di tengah masyarakat sehingga tidak menyebabkan keresahan.
"Jangan
sampai ini disalahpahami atau diinformasikan secara salah, sehingga membuat
masyarakat resah," katanya.
Para
ulama telah berselisih pendapat dalam menentukan hukum sebenar bagi teknik rebonding
ini sama ada untuk meluruskan rambut atau mengkerintingkannya. Ini kerana tidak
terdapat dalil yang khusus melarang atau mengharuskan perkara ini secara jelas.
Dalil-dalil yang digunakan oleh kedua-dua pihak lebih bersifat umum sahaja.
Disebabkan itulah berlaku perselisihan di kalangan ulama kepada dua pandangan
iaitu mengharamkan dan mengharuskan.
Namun secara peribadinya saya lebih cenderung
untuk mengatakan bahawa harus pada sesetengah keadaan bagi seseorang perempuan
itu membuat teknik rebonding di atas sebab-sebab tertentu. Lebih-lebih lagi
jika isteri membuat teknik ini semata-mata untuk memperagakan di hadapan
suaminya sahaja. Begitulah kesimpulan daripada pandangan Imam Nawawi di dalam
kitabnya Raudah al-Tolibin dan pendapat Imam Ramli di dalam kitabnya Nihayah
al-Mujtahid.
Selain itu, perkara yang perlu diteliti
juga berkaitan dengan teknik rebonding ini ialah:
1. Apakah niat dan tujuan rebonding?
2. Bahan apakah yang digunakan untuk rebonding?
3. Siapakah yang melakukan rebonding?
4. Untuk siapakah rebonding itu diperagakan?
5. Apakah kesan rebonding?
Sekadar peringatan: Syukurilah nikmat Allah SWT
yang sedia ada. Allah Taala tidak akan menzalimi hambaNya.
Sabda Rasulullah SAW bermaksud:
“Sesiapa yang memiliki rambut hendaklah dia
muliakannya”. (Riwayat Abu Daud)
Perawatan rambut lewat cara rebonding dalam beberapa tahun belakangan kian
menjadi tren. Namun, beberapa waktu lalu, Forum Musyawarah Pondok Pesantren
Putri (FMP3) Jawa Timur menetapkan bahwa rebonding
rambut adalah haram. Kontroversi pun merebak.
Selain rebonding,
Fatwa haram juga ditujukan untuk pemotretan pre-wedding,
bagi pasangan calon mempelai yang akan menikah dan fotografer yang mengambil
gambarnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat suara.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan, fatwa haram rebonding harus dipahami lengkap sesuai
konteksnya agar tidak meresahkan masyarakat. Dalam perspektif hukum Islam, rebondingrambut hukumnya
mubah, dalam arti dibolehkan.
"Jika tujuan dan dampaknya negatif, maka
hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan dampaknya positif, maka dibolehkan,
bahkan dianjurkan," ujar Asrorun ketika dihubungiKompas.com di Jakarta, Minggu (17/1/2010).
Sepanjang tidak menyebabkan bahaya, baik secara
fisik, psikis, maupun sosial, rebondingrambut
tetap diperbolehkan. "Dalam perspektif hukum Islam, menjaga kebersihan dan
merawat tubuh, apalagi jika mempermudah dalam pemakaian jilbab, justru
dianjurkan," ucap Ni'am yang juga Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Obat kimia yang digunakan juga harus dari bahan
yang suci dan tidak membahayakan rambut.
Nah, rebonding rambut akan menjadi haram, lanjutnya,
jika digunakan sebagai sarana terjadinya kemaksiatan. "Keharamannya
terkait dengan unsur luar, misalnya karena menyebabkan kemaksiatan atau
prosesnya menggunakan obat yang haram," kata dia lagi.
Rebonding rambut, menurutnya, dapat menjadi
peluang usaha bagi pelaku usaha perawatan rambut bagi wanita. "Pasarnya
cukup banyak, di sini justru ditangkap sebagai peluang, bukan justru
dieksploitasi untuk kepentingan lain," pungkasnya.
Fatwa itu
Sekadar mengingatkan, penetapan haram bagi rebonding atau pelurusan rambut merupakan hasil bahtsul masa'il atau pembahasan masalah yang digelar
Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Pondok
Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Ustaz Darul Azka (30), salah seorang perumus
komisi FMP3, meyampaikan pada Kamis (14/1/2010) bahwa fatwa ini ditujukan
terutama bagi wanita berstatus single atau belum berkeluarga. FMP3
berpendapat, berdasarkan syariat Islam, seluruh aurat wanita seharusnya
tertutup. Wanita diharuskan mengenakan jilbab. Dengan demikian, rebondingbertentangan dengan
aturan ini karena umumnya dilakukan demi penampilan menarik yang sengaja
dipertontonkan.
Menurut Darul, rebonding cenderung dilakukan untuk gaya-gayaan.
Bukan tidak mungkin, kata dia, aksi gaya-gayaan itu berujung pada tindakan
maksiat. "Sebelum mendatangkan maksiat, lebih baik diantisipasi,"
ungkapnya.
Lalu, bagaimana dengan wanita yang sudah
berkeluarga? Rebonding tidak haram dilakukan wanita yang
sudah berkeluarga sejauh tujuannya adalah membahagiakan suami.
“Jika
tujuan dan dampaknya negatif, maka hukumnya haram. Sebaliknya, jika tujuan dan
dampaknya positif, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan.”
Sumber :
Ø http://www.antaranews.com/berita/169914/mui-hukum-rebonding-tergantung-konteks
Ø http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2012/02/hukum-meluruskan-rambut-rebonding.html
Ø http://penpatah.blogspot.com/2012/09/hukum-rebonding-rambut-mesti-baca.html
Ø http://konsultasi.wordpress.com/2010/02/03/hukum-rebonding/
http://nasional.kompas.com/read/2010/01/17/11591147
http://goo.gl/O8ddEC
BalasHapusInfo keren (y). Izin share y ka :)
Sebaik nya jika hal tersebut masih jadi kontroversi atau tidak ada kepastian dan kejelasan hingga jadi keraguan lebih baik bagi perempuan yang merasakan ragu tersebut untuk tidak melakukan nya saja. Karena kita tidak tau pasti apakah haram atau dperbolehkan. Jika tidak dilakukan itu akan jadi lebih baik.. Merawat dan menjaga yang sudah ada itu lebih baik dari pada merubah nya.
BalasHapusberarti meluruskan rambut masih diperbolehkan ya mas dalam islam?
BalasHapusArtikel yang sangat bagus serta isiya bagus., pas untuk referensi menulis saya. Terima kasih banyak,
BalasHapusbila berkenan silahkan kunjungi blog saya di www.beranidakwah.com